Sabtu, 20 Agustus 2011

Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945

Hari-hari Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945

(I) 17 Juli 1945

Saiko Senso Shido Kaigi (Dewan Pengawasan Perang Tertinggi Jepang) melakukan suatu rapat yang menentukan, dimana Menteri Luar Negeri Togo membujuk kolega-koleganya supaya kemerdekaan terhadap bekas jajahan Hindia Belanda diberikan. Rapat tersebut merupakan tindak lanjut dari keputusan Sovyet untuk terjun ke Perang Pasifik.
(II) 21 Juli 1945

Keputusan untuk memberikan kemerdekaan disahkan oleh Kabinet Perang, lalu disampaikan kepada Panglima Angkatan Darat ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano, di Jakarta.

(III) 29 Juli 1945

Marsekal Hisaichi Terauchi, Panglima Angkatan Perang Daerah Selatan, dengan markas besarnya di Saigon, menerima perintah dari Tokyo supaya meneruskan persiapan kemerdekaan secepat mungkin tetapi jangan membuat pengumuman sebelum kehadiran Rusia dalam perang Pasifik.

(IV) 30 Juli 1945

Mengikuti perintah itu, maka suatu rapat yang tergesa-gesa dilangsungkan di Singapura untuk membahas rincian-rincian terakhir guna membuat Indonesia menjadi negara yang merdeka.

(V) 6 Agustus 1945

Hiroshima menjadi korban serangan bom atom Amerika. Terauchi diingatkan oleh Tokyo bahwa kenetralan Sovyet akan berakhir beberapa jam lagi, karena menteri luar negeri Molotov telah memberitahu Sato bahwa Sovyet akan mengumumkan perang pada tengah malam tanggal 8 Agustus 1945

(VI) 7 Agustus 1945

Saigon mengumumkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pengganti Badan Penyelidik yang "akan mempercepat segala usaha yang berhubungan dengan persiapan yang penghabisan guna membentuk pemerintah Indonesia merdeka"

Keanggotaan PPKI yang termasuk wakil-wakil dari luar pulau Jawa dipilih oleh Panglima Daerah Selatan sendiri berdasarkan kemampuan, pengalaman, pengetahuan dan kebijaksanaan yang mereka miliki.

(VII) 9 Agustus 1945

Sukarno, Hatta, Radjiman Wediodiningrat, Letkol Nomura dan Miyoshi (mantan konsulat Jepang di pemerintahan Hindia Belanda, sangat fasih berbahasa Indonesia) berangkat ke Singapura dengan menumpang pesawat terbang militer. Dari Singapura mereka berangkat menuju Saigon.

(VIII) 11 Agustus 1945

Marsekal Terauchi menerima ketiga pemimpin Indonesia itu di vilanya di Dalat dan pada pukul 11.40 waktu setempat dilangsungkan suatu acara untuk melantik Sukarno dan Hatta ketua dan wakil ketua PPKI. Setelah diadakan pembahasan lebih jauh maka disetujuilah bahwa PPKI akan melangsungkan sidangnya yang pertama tanggal 18 Agustus 1945 dan proklamasi akan diumumkan secara resmi segera sesudah persiapan-persiapan terakhir di pihak Jepang disimpulkan.

(IX) 14 Agustus 1945

Rombongan kembali ke Jakarta, dimana mereka mendapatkan sambutan dari Jenderal Nagano dan Laksamana Maeda.

Pada waktu yang sama keanggotaan PPKI diumumkan :

(1) Sukarno
(2) Mohammad Hatta
(3) Radjiman Wediodiningrat
(4) Soetardjo Kartohadikoesoemo
(5) Andi Pangeran
(6) I.G.K. Pudja
(7) Mohammad Amir
(8) Otto Iskandardinata
(9) Pandji Soeroso
(10) B.P.K.A. Soerjohamidjojo
(11) Ki Bagus Hadikusumo
(12) Abdul Abbas
(13) Latuharhary
(14) A.A. Hamidhan
(15) Abdul Kadir
(16) Soepomo
(17) K.H. Wahid Hasjim
(18) Teuku Mohammad Hassan
(19) G.S.S.J. Ratulangie
(20) Yap Tjwan Bing

Soebardjo diangkat sebagai penasehat khusus PPKI dan tidak seorang pun anggota dari angkatan muda.

Sjahrir menyarankan kepada Hatta agar proklamasi jangan dilakukan oleh PPKI karena PPKI buatan Jepang. Sebaiknya diproklamasikan saja oleh Bung Karno, namun Bung Karno menolaknya.

(X) 15 Agustus 1945

Siaran Kaisar Hirohito yang mengumumkan menyerahnya Jepang diterima di Jakarta dan pengumuman itu mengejutkan tokoh-tokoh Jepang yang berada di Pulau Jawa. Dan jatuhnya Jepang yang tiba-tiba bukan hanya menghancurkan setiap kemungkinan yang nyata untuk penyerahan kekuasaan secara sah, melainkan juga mempercepat kehadiran sekutu di Pulau Jawa.

Ditengah hiruk-pikuk itu Hatta mengambil prakarsa dengan meminta Soebardjo untuk mengundang PPKI untuk mengadakan rapat pada keesokan harinya.

Dan Berita dari Tokyo itu rupanya tersebar dengan cepat di kalangan para pemuda. Atas prakarsa para mahasiswa Kedoteran, rapat darurat dilangsungkan di Laboratorium Bakteriologi di pegangsaan. Rapat tersebut dihadiri antara lain : Chaerul Saleh, Abubakar Lubis dan Aidit dari Menteng 31, Darwis dan Djohar Nur dari Fakultas Kedokteran serta Wikana pejabat dari Kaigun (Angkatan Laut Jepang).

Setelah rapat di Fakultas Kedokteran, delegasi Wikana menuju kantor Kaigun, tempat mereka berjumpa dengan Soebardjo, Iwa, Buntaran dan Samsi. Setelah mendapatkan informasi dari Subardjo tentang informasi terakhir dan rapat PPKI, Wikana dan rombongan pergi ke Pegangsaan 56 dimana mereka mendesak Sukarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kurang lebih terjadi dialog sebagai berikut,

Wikana, "Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman malam ini juga, besok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah"

Dengan marah Sukarno menjawab, "Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu dan sudahilah nyawa saya malam ini juga, jangan menunggu besok !"

(dialog tsb dikutip dari, "Proklamasi Kemerdekaan Seperti yang Saya Saksikan, Sajuti Melik)

(XI) 16 Agustus 1945

Karena gagal memaksa Sukarno, maka para pemuda membuat suatu rencana untuk menculik Sukarno-Hatta, namun demikian misi penculikan ini menurut Ben Anderson dalam "Revoloesi Pemoeda" (hal. 97) masih tidak jelas dan memiliki beberapa versi, salah satunya adalah mencegah Sukarno-Hatta untuk dipaksa Jepang agar memadamkan pemberontakan yang akan dilakukan oleh para pemuda di Jakarta (namun pemberontakan ini tidak pernah terjadi)

Ketika Hatta diculik Sukarni, Hatta menayakan maksud penculikan, lalu Sukarni menjawab , "Ya, kami akan memerdekakan Indonesia dan meneruskan pemerintahan dari sana". Kemudian Hatta menjawab, "O begitu. Usaha saudara ini sama dengan putch Hitler di Munchen dulu yang gagal, yaitu mencoba merebut kekuasaan tanpa tulang punggung dan perencanaan yang matang"

Kemudian Sukarno-Hatta dibawa oleh para pemuda ke Rengasdengklok, Karawang, ikut serta pula Fatmawati dan Guntur.

Di Rengasdengklok, Sukarno-Hatta mulai menyadari apa yang sebenarnya terjadi, namun selama mereka belum menerima jaminan yang kuat dari pejabat-pejabat Jepang, mereka tidak bersedia membuat tindakkan apa-pun atas kemauan mereka sendiri.

Sorenya sekitar pukul 6 datanglah Soebardjo dari Jakarta mencari Sukarno-Hatta dan menekankan, "Buat apa saudara tahan Bung Karno dan Bung Hatta disini !? Di Jakarta tidak terjadi apa-apa. Tenang sekali. Rapat (PPKI) tadi gagal akibat Bung Karno dan Bung Hatta kalian bawa kesini !"

Setelah kembali ke Jakarta, pada jam 22.00 malam Bung Karno dan Bung Hatta, atas ajakan Laksamana Maeda, pergi ke rumah Jenderal Nishimura, kepala Departemen Urusan Umum Pemerintahan militer Jepang. Gunseikan, Jenderal Yamamoto menolak untuk bertemu karena telah menerima pesan dari Tokyo untuk memelihara "status quo" di seluruh daerah yang diduduki sebagai bagian ultimatum sekutu, akibatnya ia diperintahkan untuk membekukan kegiatan politik. Demikian pula pertemuan dengan Jenderal Nishimura tidak membawakan hasil.

Inisiatif Maeda membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke petinggi Angkatan Darat dengan pertimbangan bahwa AD Jepang -setelah diumumkan Jepang menyerah- mengalami kepanikan dan tekanan batin yang tinggi sehingga demikian perilakunya tidak bisa dikendalikan dengan baik dan dapat menimbulkan penindasan dan kekacauan jika benar-benar para pemuda melakukan pemberontakan. Inilah yang mendorong Maeda untuk memberikan kerja sama yang besar dalam upaya mempercepat kemerdekaan.

Setelah dari rumah Nishimura akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta pergi ke rumah Maeda, dan hadir pula di rumah Maeda, Soebardjo, Sajuti Melik dan Sukarni serta para tokoh pemuda lainnya sepeti Muwardi dan B.M. Diah. Pada dasarnya Maeda telah memberikan dukungan kuat bagi proklamasi kemedekaan Indonesia dan memberikan jalan bagi Sukarno-Hatta untuk melakukan hal tersebut. Dan ini merupakan jaminan yang diminta oleh Sukarno-Hatta, yaitu ada pejabat militer Jepang yang mau mendukung usaha proklamasi tersebut.

Langkah perlindungan dan dukungan Maeda sebagai pimpinan tertinggi Angkatan Laut Jepang di Indonesia kepada pelaksanaan proklamasi kemerdekaan digambarkan Hatta sebagai berikut,

"Saya rasa hal itu disebabkan "geweten" (hati nurani) Maeda sebagai prajurit samurai yang merasa terikat dengan janji Jepang serta dia merasa tokh akan dihukum sekutu, lebih baik diantarkan keinginan rakyat Indonesia ke gerbang yang dicita-citakannya" (Bung Hatta Menjawab, hal. 142-143)

Di rumah Maeda inilah Bung Karno dan Bung Hatta menyusun teks proklamasi yang pada keesokan harinya tanggal 17 Agustus 1945 dibacakan di pekarangan rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56.

Pustaka :

(1) Bung Hatta Menjawab. Mohammad Hatta. PT. Toko Gunung Agung. 2002.
(2) Revoloesi Pemoeda. Ben Anderson. Pustaka Sinar Harapan. 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar