Minggu, 11 September 2011

Haji Misbach :Muslim Komunis

Haji Misbach memiliki posisi yang unik dalam sejarah di Tanah Air. Namanya
sedahsyat Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Di kalangan gerakan
Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut lantaran pahamnya yang
beraliran komunis. Menurut Misbach, Islam dan komunisme tidak selalu harus
dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan
penindasan dan ketidakadilan.
Lahir di Kauman, Surakarta, sekitar tahun 1876, dibesarkan sebagai putra
seorang pedagang batik yang kaya raya. Bernama kecil Ahmad, setelah menikah ia
berganti nama menjadi Darmodiprono. Dan usai menunaikan ibadah haji, orang
mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach.

Kauman, tempat Misbach dilahirkan, letaknya di sisi barat alun-alun utara,
persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Di situlah
tinggal para pejabat keagamaan Sunan. Ayah Misbach sendiri seorang pejabat
keagamaan. Karena lingkungan yang religius itulah, pada usia sekolah ia ikut
pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera "Ongko Loro".

Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik di
Kauman mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka
rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI).
Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan
sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Sebagai seorang
haji ia lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa, Misbach mulai aktif
terlibat dalam pergerakan pada tahun 1914, ketika ia berkecimpung dalam IJB
(Indlandsche Journalisten Bond)-nya Marco. Pada tahun 1915, ia menerbitkan
surat kabar Medan Moeslimin, yang edisi pertamanya tertanggal 15 Januari 1915
dan kemudian menerbitkan Islam Bergerak pada tahun 1917. Surat-surat kabar ini
menjadi media gerakan yang sangat populer di Surakarta dan sekitarnya.

Marco Kartodikromo, salah satu tokoh pergerakan pada saat itu berkisah tentang
Misbach:

".. Di Pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa
dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan
klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab
dan berkain kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memaki kain kepala
dari pada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang
yang disebut "Haji".

Apa yang tersirat dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme
seorang Haji, sekaligus pedagang yang sadar akan penindasan kolonialis Belanda
dan tertarik dengan ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada jaman
itu.

Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat.
Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat
umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemblejetan kolonialisme dan
kapitalisme.Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya,
Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap.

Pada 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2
tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman,
Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan
berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Bulan Juli 1924
ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi
pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya.
Walaupun bukan yang pertama diasingkan tapi ia-lah orang yang pertama yang
sesungguhnya berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri.

Orang menggambarkan Haji Misbach sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan
anak-anak muda penikmat klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang
populer. Satu tulisan tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda,
Misbach menjadi kawan berbincang yang enak, sementara di tengah pecandu wayang
orang Misbach lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang.

"... di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan
pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan
lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan
Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil.
Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe
Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama."

Takashi Shiraisi mengungkapkan perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan
Surakarta. Ini dikaitkan dengan persamaan dan perbedaan antara KH Achmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan, Misbach, seorang muslim ortodoks yang saleh,
progresif, dan hidup di Surakarta.

Di Yogya, Muhammadiyah yang lahir pada 1912 di Kauman, segera menjadi sentral
kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga
pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan
ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Dahlan sendiri
sempat dipercaya menjadi chatib amin. Para penganjur Muhammadiyah umumnya
anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat
negara sehingga, kata Shiraisi, wewenang keagamaannya tidak berasal dari
kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka
berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang
pesantrennya bebas dari negara.

Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang
terpecah-pecah. Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan
dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam,
membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh
misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan
pemerintah.

Lain dengan di Surakarta. Kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan
Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di
Jawa, Madrasah Mamba'ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat
(1906) dan SI pun sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan
Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru
Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan
Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain
tersalur. Kelompok ini menyebut diri "kaum muda Islam".

Beda pergerakan Islam Surakarta dan Yogya, di Yogya reformis tentu juga
modernis, tetapi di Surakarta kaum muda Islam memang modernis tetapi belum
tentu reformis. Kegiatan keislaman di Solo banyak dipengaruhi kiai progresif
tapi ortodoks, seperti Kiai Arfah dan KH Adnan. Sampai suatu ketika ortodoksi
yang cenderung menghindar ijtihad itu terpecah pada 1918.

Perpecahan kelompok Islam di Surakarta dipicu artikel yang dimuat dalam Djawi
Hiswara, ditulis Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI.
Ketika artikel itu muncul di Surakarta tidak langsung terjadi protes, tetapi
Tjokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas
pelecehan oleh Martodharsono. Seruan itu muncul di Oetoesan Hindia, sehingga
bangkitlah kaum muda Islam Surakarta.

Tjokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), yang mencuatkan
nama Misbach sebagai mubalig vokal. Mengiringi terbentuknya TKNM, lahir
perkumpulan tablig reformis bernama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV). Haji
Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong
terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Segeralah beredar
cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium. Komunitas yang
dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum
muslimin Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan
Sriwedari, pada 24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang.
Tjokroaminoto mengirim Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan
redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam), dua orang kepercayaannya di TKNM.
Waktu itu terhimpun sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin
Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya
penghinaan
terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari "kaum putihan" Surakarta.
Belakangan, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja
mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hiswara setelah
mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit.
Buntutnya, Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi
TKNM. Muncul statemen seperti "korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan
Islam".

Dalam situasi itu muncul Misbach menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM
dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertama
Misbach di media ini, Seroean Kita. Dalam artikel itu Misbach menyajikan gaya
penulisan yang khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum
tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran
kemudian keluar lagi dari ayat itu. "Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan
menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig."

Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan
perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan
generasi santri yang lebih muda. Menurut Shiraisi, ada dua perbedaan SATV
dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di
tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin
saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah,
dan para kapitalis non muslim. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah
bergerak atas dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup
menjadi muslim sejati. Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk
melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan
tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana pun yang perbuatannya
mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan.

SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta,
menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi "Islam lamisan", "kaum terpelajar
yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan
namanya sendiri." Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideolognya,
"membuat agama Islam bergerak". Misbach kondang di tengah muslimin bukan
sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang
dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya
"menggerakkan Islam": menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah,
dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk
penghisapan dan penindasan.



"Jangan takut, jangan kawatir"

Misbach sangat antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek
kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan
Moeslimin atau Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis
organisasi Islam. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang
akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan,
secara tegas dianggapnya berseberangan dengan misi keadilan.

Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok
kapitalis Belanda yang menghisap petani, mempekerja-paksakan mereka, memberi
upah kecil, membebani pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat
karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu
sebagai "suara dari luar dunia petani". Bunyinya, "Jangan takut, jangan
kawatir". Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok.
Ekstremitas sikap Misbach membuat ia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan
belasan pertemuan kring (subkelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach
dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH),
organisasi para bumiputera.

Misbach menegaskan kepada rakyat "jangan takut dihukum, dibuang, digantung",
seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang
selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham
komunis. Misbach mengagumi Karl Marx, dia sempat menulis artikel Islamisme dan
Komunisme di pengasingan. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin,
mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agama pun
dirusak oleh kapitalisme sehingga kapitalisme harus dilawan dengan historis
materialisme.

Misbach kecewa terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum
dhuafa. Berjuang melawan kapitalisme tak membuat Misbach tidak menegakkan
Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan
berjuang melawan setan. Misbach pun ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah
melahirkan PKI/SI Merah, memilih ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI),
bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta.

Terkait dengan "teror-teror" yang terjadi di Jawa, Misbach tetap dipercaya
sebagai otaknya. Misbach ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta
memberatkannya meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu
karena iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang "ditangkap" bersama
Misbach. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu
arit dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran.

Namun Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, beserta
dengan istri dan tiga anaknya. Selama penahanan di Semarang, tak seorang pun
diizinkan menjenguknya. Misbach hanya dibolehkan membaca Al-Qur?an. Di
pengasingan, selain mengirim laporan perjalanannya, Misbach juga menyusun
artikel berseri "Islamisme dan Komunisme".

Medan Moeslimin kemudian memuat artikel Misbach tersebut,

??agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak
persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan
hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga
bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya
mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan
dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan
keselamatan umum.?
Ditengah ganasnya alam di tempat pembuangannya Misbach terserang malaria dan
meninggal di pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di
samping kuburan istrinya.****

Sumber : Tabloid Pembebasan Edisi V/Thn II/Februari 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar